Makalah Etika Dan Kode
Etik Kesehatan
“ EUTHANASIA (pandangan kesehatan masyarakat dan
pandangan kode etik) ”
Oleh :
Tobianto Mangapan (K11113319)
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin
Makassar
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang
Maha Essa, karena atas berkat dan Rahmat-Nya penulis dapat menulis makalah ini
yang berjudul “Euthanasia” hingga selesai. Meskipun dalam makalah ini penulis
mendapat banyak yang menghalangi, namun mendapat pula bantuan dari beberapa
pihak baik secara moril, materil maupun spiritual.
Oleh karena itu, penulis menghanturkan terimah kasih kepada
dosen pembimbing serta semua pihak yang telah memberikan sumbangan dan saran
atas selesainya penulis makalah ini. Di dalam penulisan makalah ini penulis
menyadari bahwa masih ada kekurangan-kekurangan meningat keterbatasannya
pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh sebab itu, sangat di harapkan kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun untuk melengkapkan makalah
ini dan berikutnya.
Makassar, 17 November 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................................
i
KATA PENGANTAR.....................................................................................................
ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................................
1
B. Perumusan
Masalah.................................................................................................
2
C. Tujuan................................................................................................................
…..2
E. Pembatasan
Masalah............................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian............................................................................................................
3
B. jenis-jenis Euthanasia. ..........................................................................................
4
C. pandangan
etika mengenai Euthanasia.................................................................
D. pandangan
kesehatan masyarakat mengenai Euthanasia....................................
E. hukum mengenai
Euthanasia................................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
........................................................................................................
13
B. Saran
..................................................................................................................
14
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................
15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada dua masalah dalam bidang
kedikteran atau kesehatan yang berkaitan dengan aspek hukum yang selalu aktual
dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah
klasik dalam bidang kedokteran yaitu tentang abortus provokatus dan euthanasia.
Dlam lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hippokrates (460-377 SM), kedua
masalah ini telah ditulis dan telah diingatkan. Sampai kini tetap saja
persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi atau
diselesaikan dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yangdapat diteroma oleh
semua pihak. Di satu pihak tindakan abortus provokatus dan euthanasia pada
beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan sementara di lain pihak tindakan
ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral dan agama.
Mengenai masalah euthanasia bila
ditarik ke belakang boleh dikatakan masalahnya sudah ada sejak kalangan
kesehatan menghadapi penyakit yang tak tersembuhkan, sementara pasien sudah
dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi demikian tidak jarang pasien
memohon agar dibebaskan dari penderitaan
ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau di lain keadaan pada pasien
yang sudah tidak sadar, keluarga orang
sakit yang tidak tega melihat pasien yang penuh penderitaan menjelang
ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila
perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah istilah
euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari
penderitaan atau mati secara baik.
Masalah makin sering dibicarakan dan
menarik banyak perhatian karena semakin
banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat terutama setelah
ditemukannya tindakan didalam dunia pengobatan dengan mempergunakan tegnologi
canggih dalam menghadapi keadaan-keadaan gawat dan mengancam kelangsungan
hidup. Banyak kasus-kasus di pusat pelayanan kesehatanterurtama di bagian gawat
darurat dan di bagian unit perawatan intensif yang pada masa lalu sudah
merupakn kasus yang sudah tidak dapat dibantu lagi.
Ada
tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar
biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat
disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu
mahal. Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan
medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan
lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan medis. Bahkan, euthanasia dengan
menyuntik mati disamakan dengan tindakan pidana pembunuhan. Alternatif terakhir
yang mungkin bisa diambil adalah penggunaan sarana via extraordinaria.
Di Indonesia masalah
euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan
mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan
mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus yang terakhir yang
pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke Pengadilan Negeri Jakarta,
belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan permanen
pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum
permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh
dokter.
Apabila
hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu
materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi
nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.
B. Rumusan masalah
a. Apa pengertian dari Euthanasia ?
b. Apa saja jenis-jenis Euthanasia?
c.
Bagaimana
pandangan Etis terhadap Euthanasia?
d. bagaimana pandangan
kesehatan masayarakata terhadap Euthanasia?
e. bagaimana hukum
mengenai Euthanasia?
C. Tujuan
a. mengetahui pengertian dari Euthanasiai Euthanisi
b. mengetahui jenis dari Euthanasia
c. mengetahui pandangan etis terhadap Euthanasia
d. mengetahui pandangan kesehtan masyarakat terhadap
Euthanasia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Dan
Sejarah
Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa
Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, tanpa
penderitaan dan thanatos berarti
mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa
penderitaan. Ada yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita.
Secara etimologis euthanasia berarti
kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia
arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau
meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti
yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia
untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi
persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat
dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Dewasa
ini orang menilai eutanasia terarah pada campur tangan ilmu kedokteran yang
meringankan penderitaan orang sakit atau orang yang berada di sakratul maut. Kadang-kadang proses
“meringankan penderitaan” ini disertai dengan bahaya mengakhiri hidup sebelum
waktunya. Dalam arti yang lebih sempit, eutanasia dipahami sebagai mercy
killing, membunuh karena belas kasihan, entah untuk mengurangi penderitaan,
entah terhadap anak tak normal, orang sakit jiwa, atau orang sakit tak
tersembuhkan. Tindakan itu dilakukan agar janganlah hidup yang dianggap tak
bahagia itu diperpanjang dan menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat.
Dari
perjalanan arti eutanasia sendiri kelihatan adanya suatu pergeseran arti.
Eutanasia yang pada awalnya berarti kematian yang baik, dewasa ini diartikan
sebagai tindakan untuk mempercepat kematian. Kiranya penting memahami arti
eutanasia itu sendiri sebelum dinilai secara etis maupun moral. Oleh karena
itu, kiranya perlu dilihat arti eutanasia menurut Gereja. Dalam arti tertentu,
kalau Gereja menyerukan arti eutanasia, kita tahu dengan pasti apa yang dimaksud
dengan eutanasia itu sendiri. Gereja sendiri yang dalam hal ini diwakili oleh
kongregasi suci untuk ajaran iman mendefinisikan eutanasia sebagai sebuah
tindakan atau tidak bertindak yang menurut hakikatnya atau dengan maksud
sengaja mendatangkan kematian, untuk dengan demikian menghentikan rasa sakit.
unsur-unsur euthanasia adalah sebagai berikut:
a.
Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
b.
Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.
c.
Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
d. Atas atau
tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
e. Demi
kepentingan pasien dan keluarganya.
Sejarah Euthanasia
Sebenarnya, persoalan
euthanasia bukanlah hal yang baru. Sepanjang sejarah manusia, euthanasia sudah
diperdebatkan dan dipraktekkan. Sejarah euthanasia dapat dilihat antara lain
sebagai berikut :
Ø Lingkup Budaya Yunani-Romawi Kuno
Perdebatan euthanasia dalam era ini dapat dilihat dari
pandangan beberapa tokoh kuno. Posidippos, seorang pujangga yang hidup sekitar
tahun 300-an sebelum Masehi, menulis, “Dari apa yang diminta manusia kepada
para dewa, tiada sesuatu yang lebih baik daripada kematian yang baik (Fr. 18)”.
Philo, seorang filsuf Yahudi yang hidup sekitar tahun 20 BC – 50 AD, mengatakan
bahwa euthanasia adalah ‘kematian tenang dan baik’.
Suetonius, seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun
70-140 Masehi memberitakan kematian Kaisar Agustus sebagai berikut: “Ia
mendapat kematian yang mudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena ia hampir
selalu biasa mohon kepada dewa-dewa bagi dirinya dan bagi keluarganya
‘euthanasia’ bila mendengar bahwa seseorang dapat meninggal dengan cepat dan
tanpa penderitaan. Itulah kata yang dipakainya” (Divus Augustus 99). Cicero,
seorang sastrawan, hidup sekitar tahun 106 BC, memakai istilah euthanasia dalam
arti ‘kematian penuh kehormatan, kemuliaan dan kelayakan’ (Surat kepada Atticus
16.7.3). Seneca, yang bunuh diri tahun 65 M malah menganjurkan, “lebih baik
mati daripada sengsara merana“.
Ø Zaman Renaissance
Pada zaman renaissance, pandangan tentang euthanasia
diutarakan oleh Thomas More dan Francis Bacon. Francis Bacon dalam Nova
Atlantis, mengajukan gagasan euthanasia medica, yaitu bahwa dokter
hendaknya memanfaatkan kepandaiannya bukan hanya untuk menyembuhkan, melainkan
juga untuk meringankan penderitaan menjelang kematian. Ilmu kedokteran saat itu
dimasuki gagasan euthanasia untuk membantu orang yang menderita waktu mau
meninggal dunia. Thomas More dalam “the Best Form of Government and The New
Island of Utopia” yang diterbitkan tahun 1516 menguraikan gagasan untuk
mengakhiri kehidupan yang penuh sengsara secara bebas dengan cara berhenti
makan atau dengan racun yang membiuskan.
Ø Abad XVII-XX
David Hume (1711-1776)
yang melawan argumentasi tradisional tentang menolak bunuh diri (Essays on the
suicide and the immortality of the soul etc. ascribed to the late of David
Hume, London 1785), rupanya mempengaruhi dan membuka jalan menuju gagasan
euthanasia.
Tahun 20-30-an abad XX
dianggap penting karena mempersiapkan jalan masalah euthanasia zaman
nasional-sosialisme Hittler. Karl Binding (ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche
(psikiater) membenarkan euthanasia sebagai pembunuhan atas hidup yang dianggap
tak pantas hidup. Gagasan ini terdapat dalam bukunya yang berjudul : Die
Freigabe der Vernichtung lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920. Dengan demikian,
terbuka jalan menuju teori dan praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar
negara mengakhiri hidup yang tidak berguna (orang cacat, sakit, gila, jompo)
ternyata sungguh dilaksanakan dengan sebutan Aktion T4 dengan dasar hukum
Oktober 1939 yang ditandatangani Hitler.
2.2. Jenis-Jenis Euthanasia
Euthanasia
bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana datang
permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara garis besar euthanasia
dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif.
Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:
1.
Euthanasia
aktif
Euthanasia
aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri
hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan
penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan. Euthanasia aktif
terbagi menjadi dua golongan
a.
Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui
tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien.
Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan
b.
Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan
medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi
diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien.
Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.
2.
Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan
menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk
mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal
setelah tindakan pertolongan dihentikan.
3.
Euthanasia
volunter
Euthanasia jenis ini adalah
Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan
sendiri.
Euthanasia
involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan
tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini
dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan
pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Selain
kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai macam yang
lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans magnis suseno
dan Yezzi seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam
euthanasia selain euthanasia secara garis besarnya, yaitu:
1.
Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa
memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan agar yang
bersangkutan dapat mati dengan "baik".
2.
Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan
efek samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini ke dalamnya
termasuk pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik dan analgetika yang
mungkin "de fakto" dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu
tidak disengaja
3.
Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau
permintaan pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan
tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.
4.
Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan
keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya
keluarga), atau atas keputusan
2.3. Pandangan Etika Mengenai Euthanasia
Etik
berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti ”yang baik, yang layak”. Etik
merupakan morma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi
terentu dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat.
Etik merupakan prinsip
yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk dalam hubungan dengan orang
lain.
Etik merupakan studi
tentang perilaku, karakter dan motif yang baik serta ditekankan pada penetapan
apa yang baik dan berharga bagi semua orang. Secara umum, terminologi etik dan
moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang berbeda dengan moral bila
istilah etik mengarahkan terminologinya untuk penyelidikan filosofis atau
kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku
aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang atau kelompok tertentu.
Etik juga dapat
digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga etik
merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku
profesional. Cara hidup moral perawat telah dideskripsikan sebagai etik perawatan.
Berdasarkan uraian
diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang digunakan untuk
merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang seharusnya
dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Dari sudut pandang
etika, euthanasia dan aborsi menghadapi kesulitan yang sama. Suatu prinsip
etika yang sangat mendasar ialah kita harus menghormati kehidupan manusia.
Bahkan kita harus menghormatinya dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita
mengorbankan manusia kepada suatu tujuan lain.
Dalam etika, prinsip ini
sudah lama dirumuskan sebagai "kesucian kehidupan" (The Sanctity Of
Life). Kehidupan manusia adalah suci karena
mempunyai nilai absolut, karena itu di mana-mana harus selalu dihormati. Jika
kita dengan konsekuen mengakui kehidupan manusia sebagai suci, menjadi sulit
untuk membenarkan eksperimentasi laboratorium dengan embrio muda, meski usianya
baru beberapa hari, dan menjadi sulit pula untuk menerima praktik euthanasia
dan aborsi, yang dengan sengaja mengakhiri kehidupan manusia. Prinsip kesucian
kehidupan ini bukan saja menandai suatu tradisi etika yang sudah lama, tetapi
dalam salah satu bentuk dicantumkan juga dalam sistem hukum beberapa Negara.
(PVS=Persistent Vegetative Status). Hidup
manusia adalah dasar dari segala sesuatu. Tanpa hidup, manusia tidak punya
apapun, termasuk hak-haknya. Karena itu, hidup manusia adalah hak dasar dan
sumber segala kebaikan. Martabat manusia tidak berubah meskipun dia dalam
keadaan koma. Ia tetap manusia yang bermartabat. Dia bukan “vegetatif”=tumbuh-tumbuhan.
Oleh karena itu, ia tetap harus dihormati.
Penilaian etika
euthanasia telah diperdebatkan tentang kebenarannya dalam decade sekarang ini.
Larangan untuk membunuh merupakan suatu norma moral yang sangat fundamental
untuk umat manusia. Tidak mengherankan, kalau dalam segala aspek kebudayaan
diberi tekanan besar pada norma ini, termasuk dalam bidang agama. Malah boleh
dikatakan, ini norma moral yang paling penting, sebagaimana pelanggarannya juga
merupakan kejahatan paling besar. Namun demikian norma moral ini pun tidak
bersifat absolute. Rasanya dalam etika tidak ada norma moral yang sama sekali
absolute. Karena itu disekitar norma ini pun selalu masih ada hal-hal yang
dipermasalahkan. Dizaman sekarang menyangkut hukuman mati dan euthanasia, tetapi
berlawanan. Apakah pantas Hukuman mati dipertahankan sebagai pengecualian atas
larangan untuk membunuh sedangkan tentang euthanasia dipersoalkan tidak perlu
diakui adanya pengecualian atas larangan untuk membunuh.
Di dalam Kode Etik
Kedokteran yang ditetapkan Mentri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983
disebutkan pada pasal 10: “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.” Kemudian di dalam penjelasan
pasal 10 itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri yang kuat pada setiap makhluk
yang bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu
merupakan tugas seorang dokter. Dokter harus berusaha memelihara dan
mempertahankan hidup makhluk insani, berarti bahwa baik menurut agama dan
undang-undang Negara, maupun menurut Etika Kedokteran, seorang dokter tidak
dibolehkan:
a. Menggugurkan
kandungan (abortus provocatus).
b. Mengakhiri hidup
seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh
lagi (euthanasia).
Jadi sangat tegas, para
dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode etika itu
tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan segala
kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara
hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.
Ketua umum pengurus
besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu
pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan
bahwa : Eutanasia atau “pembunuhan tanpa penderitaan” hingga saat ini belum
dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat
Indonesia. “Eutanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut
oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP (Wikipedia,
2012).
Utomo (2009)
mengutarakan bahwa dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan
eutanasia ini, meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya eutanasia dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan
(sesuai dengan Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan
serta merta melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan pasien atau
keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena adanya
persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter
dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak
lain menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu
sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan
merupakan tindak pidana, yang secara hukum di negara manapun, tidak
dibenarkan oleh Undang-undang.
Di dalam Wikipedia (2009)
dinyatakan bahwa di dunia ini terdapat beberapa negara yang telah melegalkan
tindakan eutanasia dengan beberapa persyaratan dan pertanyaan yang harus
dipenuhi oleh pasien ataupun keluarganya, diantaranya Belgia, Belanda dan
negara bagian Oregon di Amerika. Di dalamnya juga disebutkan bahwa Senator
Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun
rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita
secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh
untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.
2.4. Pandangan Kesehatan
Masyarakat Mengenai Euthanasia
Banyak pakar
etika menolak euthanasia dan assisted suicide. Salah satu argumentasinya
menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita mengizinkan pengecualian
atas larangan membunuh, sebentar lagi cara ini bisa dipakai juga terhadap orang
cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain yang dianggap tidak berguna lagi.
Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu kita harus menghormati
kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu
tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan sebagai “kesucian kehidupan” (the
sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai
absolut dan karena itu dimana-mana harus dihormati.
Masing-masing
orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada secara intrinsik (ada
bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan berakhirnya manusia).
Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari pengakuan orang, artinya ia ada
entah diakui atau tidak oleh orang lain. Masing-masing orang harus
mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh karena itu
masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu, manusia tidak
pernah boleh dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan
tertentu oleh orang lain.
Meski
demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi yang banyak
dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die. Menurut mereka,
jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya
segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh penderitaan.
Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar mempercepat kematiannya,
sekaligus memungkinkan “kematian yang baik”, tanpa penderitaan yang tidak
perlu. Sedangkan menurut pakar kesehatan mengenai pengertian
kematian :
Apabila nadi tidak bergerak, maka jantung sudah tidak
berfungsi, karena jantung merupakan alat pemompa darah ke seluruh tubuh. bahwa
jantung ternyata digerakkan oleh pusat saraf penggerak yang terletak pada
bagian batang otak kepala.
Apabila terjadi perdarahan pada batang otak, maka denyut
jantung terganggu. Tetap perdarahan pada otak yang bersangkutan tidak mati,
kata Prof. Dr. Mahar Mardjono (eks Rektor UI). Jadi, kalau hanya terjadi
perdarahan pada otak, penderita tidak mati, jika batang otak betul-betul mati,
maka harapan hidup seseorang sudah terputus.
Menurut Dr. Yusuf Misbach (ahli saraf) terdapat 2 macam kematian
otak yaitu kematian korteks otak yang merupakan pusat kegiatan intelektual dan
kematian batang otak. Kerusakan batang otak lebih fatal karena terdapat pusat
saraf penggerak motor semua saraf tubuh.
Menurut Dr. Kartono
Muhammad (wakil ketua Ikatan Dokter Indonesia) mengatakan seseorang mati bila
batang otak menggerakkan jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi.
Para fuqaha menurut Dr. Peunoh Daly menentukan ukuran hidup
matinya seseorang dengan empat fenomena. Pertama, adanya gerak/nafas, gerakan
sedikit/banyak. Kedua, adanya suara maupun bunyi, yang terdapat pada mulut,
jeritan tangis, dan rasa haus. Ketiga, mempunyai kemampuan berfikir terutama
bagi orang dewasa. Keempat, mempunyai kemampuan merasakan lewat panca indra dan
hati.
2.5. Hukum Mengenai Euthanasia
Di Indonesia dilihat dari
perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam bentuk
undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Tetapi bagaimanapun
karena masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa
manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya
sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat
dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Kitab
undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau dihukum jika
ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang
hati-hati. Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan
euthanasia aktif tedapat padapasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP:
Barangsiapa menghilangkan jiwa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan
dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Ketentuan ini
harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan kuat
untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek
hidup pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya.
Untuk jenis
euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini
perlu diketahui oleh dokter, yaitu:
Pasal 338 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena
makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja dan
direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena
pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya
seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 359
KUHP:
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu
tahun.
Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan
hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus
euthanasia, yaitu:
Pasal 345 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja
menghasut orang lain unutk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau
memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat
tahun.
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai
kejahatan terhadap nyawa manusia dalam KUHP tersebut, maka dapatlah kita
dimengerti betapa sebenarnya pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman
Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang
paling berharga. Oleh sebab itu setiap perbuatan apapun motif dan
macamnya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa
manusia, maka hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa
membedakan agama, ras, warna kulit dan ideologi, tentang keamanan dan
keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin oleh undang-undang. Demikian halnya
terhadap masalah euthanasia ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di
Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara
yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia
akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis.
Munculnya permintaan tindakan medis euthanasia
hakikatnya menjadi indikasi, betapa masyarakat sedang mengalami pergeseran
nilai kultural. Disini Penulis menentang dilakukannya euthanasia atas dasar
etika, agama, moral dan legal, dan juga dengan pandangan bahwa apabila
dilegalisir, euthanasia dapat disalahgunakan. Kelompok pro-euthanasia mungkin
akan menentang pendapat ini dengan menggunakan argumen quality of
life, dan hukum. Namun demikian, pernyataan yang telah dikemukakan, pertama
secara etika, tugas seorang dokter adalah untuk menyembuhkan, bukan membunuh;
untuk mempertahankan hidup, bukan untuk mengakhirinya. Dari dasar agama adalah
di mana dokter percaya kesucian dan kemuliaan kehidupan manusia. Dari segi
respek moral, pilihan untuk membunuh, baik orang lain maupun diri sendiri
adalah imoral karena merupakan tindak sengaja untuk membunuh seorang manusia.
Dari segi legal, seorang dokter yang melakukan euthanasia atau membantu orang
yang bunuh diri telah melakukan tindakan melanggar hukum. Pernyataan terakhir
adalah sulitnya untuk melegalisir euthanasia karena sulitnya membuat standar
prosedur yang efektif. Selanjutnya hal ini juga dapat memberikan tekanan
kepada mereka yang merasa diabaikan atau merasa sebagai beban keluarga atau
teman.
Jadi
di Indonesia Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari kode etik
kedokteran, undang-undang hukum pidana, maupun menurut setiap agama, yang
menghukumkannya haram. Sedangkan Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu
sepanjang kondisi pasien berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal.
B.
Saran
Apabila hukum di Indonesia kelak mau
menjadikan persoalan eutanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga
tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika,
maupun moral.
DAFTAR PUSTAKA
http:/Pandangan
Etika Dan Perundang-Undangan Tentang Euthanasia ” _ Fatmanadia.Htm
www.Tugas-Tugas
Kuliah makalah euthanasia.htm\